Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (
heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara
Garebeg, upacara
Sekaten, dan upacara
Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.
Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan
Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan
Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan
Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa
pareden/gunungan yang terdiri dari
gunungan kakung dan
gunungan estri (lelaki dan perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian
bendera Indonesia dalam ukuran kecil.
Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak
kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran
Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah
credo dalam agama
Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat
Gamelan Sekati,
Kyai Gunturmadu dan
Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan
Mulud dalam kalender
Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Jw:
ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya
Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
Kirab Mubeng Beteng utawa Malam Satu Suro
Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro). Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan
Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama
Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Pusaka (heirloom) dan tari-tarian sakral
Tarian Sakral Bedhoyo Ketawang
Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa singgasana raja, perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah
Kyai Guntursari dan
Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara Sekaten. Selain memiliki pusaka keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral adalah
Bedaya Ketawang yang dipentaskan pada saat pemahkotaan raja.
0 komentar:
Posting Komentar